Sajak #5 – Bayi yang Malang

IMG_6918

Hai Bayi,
Malang nian nasibmu terlahir di bumi
Pasalnya Kau akan dirudapaksa dunia ini
Bagai tunasusila dicekoki berahi,
tanpa henti setiap hari.

Bayangkan, Yi
Ada institusi netral memproklamasikan independensi
Ternyata hanya membeo karena politisasi
Agar dapat komisi oleh orang-orang berdasi.
Betapa ironi.

Bayangkan, Yi
Semua orang berorasi
Berkoar-koar pentingnya toleransi
Diberi saran ada jalan lebih sehat dr orasi, langsung dicaci
Ngakunya “toleran”, dapat kritik sedikit ia muntahi.

Bayangkan, Yi
Semesta berkolusi membentuk konspirasi
Kreativitasmu dianggap anomali
Tak seragam dengan dogma konservatif yang dianggap kitab suci,
Kau ‘kan diharamkan bak babi.

Bayangkan, Yi
Riak air dituntut menjadi kobaran api
Mimpi serta potensi terasumsi fantasi
Bahkan cipta karsa tak terhitung seni
Hanya jumputan sampah dalam gelak basi.

Bayangkan, Yi
Mulai sekarang Kau akan selalu menangis setiap bangun pagi
Kau tidak akan sadar bahwa orang-orang yang melihatmu akan tertawa hi hi hi
Menyerahlah! Bahkan cinta-kasih dari Abi dan Ummi,
Tidak seratus persen dari hati.

Duhai Bayi,
Silahkan belajar berdiri,
Lalu resapi sendiri,
Konotasi kehidupan dalam kacamata diri
Kau hanya akan melihat jutaan ilusi.

Jatinangor, 19 September 2014.

Pukul 12.40 WIB

Prosa #8 – Sore Tragis

IMG_3898

Sore itu dia duduk sembari menatap kosong cakrawala senja di atas geladak kapal nelayan. Tak seperti saban sore biasanya, kali ini indahnya horizon jingga tak kuasa mengindahkan hatinya yang sedang kalut.

Azer merenungi kenyataan bahwa dirinya hanyalah manusia biasa. Meski ombang-ambing ombak pesisir selalu mengantarkan daya imajinasinya pada tatanan abstraksi logis, ia tetap heran “mengapa ia harus terlahir sebagai manusia? Padahal dirinya ingin sekali melanglang buana menjelajahi muara semesta lalu menyentuh gugusan galaksi yang begitu memesona.”

Kesal pada takdir yang senantiasa bergejolak tak kunjung padam, ia mencoba peruntungannya pada Hades. Memekik keras ia berteriak, “Demi Hades! Aku akan menanggalkan kecintaanku pada Poseidon dan Eros!”

Seketika itu pula jutaan pasir di belakangnya datang menggerogoti tubuhnya inci demi inci bagai kawanan camar bermigrasi. Azer berontak nihil. Para pasir menerobos celah kecil mata hingga ke otak dan menghancurkannya secepat kedipan mata.

 

1 September 2014

Jatinangor, 14:34 WIB

Prosa #7 – Idiot!

Geratak ia tertatih-tatih dalam frustrasi, dilanda kegelisahan teramat akbar.

Kusam rautnya bersuai dengan letih langkah nan hampa, lalu tanpa luas akal, ia bersua cakap pada Hades, Sang Durjana Dunia Kegelapan.

“Sibakkanlah kutukan syahwat yang bersemayam di pijakku ini! Ia menyaraukanku begitu pekat!” mohonnya pada Hades.

Sang Durjana merogoh sebuah pancing syahwat di bawah singgasana bayang-bayangnya. Ia berujar, “Satu kail, jutaan luka”

“Silakan..” relanya berlutut pasrah. Sang Durjana menyingkap tabir hitam sambil lalu, meninggalkan jasad busuk yg terkulai tak berdaya. Ia bersiul geram pada si bodoh, lantaran syahwat ialah bagian dari jiwa.

Pukul 11 Menuju Tengah Malam
Juli ke-5, 2014, kota Paris Van Java

Prosa #6 – Persetan pada “Cahaya”!

IMG_1066

(foto: jepretan iseng pas zaman SMA dulu)

Aku mengutuki tiap cahaya yang menyinariku.
Aku takut bayangan yang terproyeksi akan memberontak mengkhianati tuannya.
Cahaya itu ialah sumber keangkuhan, yang bila dipuja, ia meninggi dan terus meninggi.
Lalu lupa akan kuasa Mahatinggi, terus meninggi hingga semesta dirasa gumpalan nihil belaka.
Deru hitam serta derap kegelapan menjadi bahan bakarku kali ini.
Ia tersembunyi. Misterius. Asing pada dada yang terbusung.
Namun, ia selalu menyelimuti tiap onggok daging kecongkakkan dengan lelap nan hangat.
Triliunan gugusan manusia lupa akan kefanaan ini.
Tapi di sini, aku mencintai dengan sepenuh hati..

pada keabadian jerit malam.

08.17 kala fajar, tanah Sunda.
Hari 6 bulan 5 tahun 2014.

Prosa #5 – Sunyi Malam

Layaknya gemuruh bisu serta pekikan hampa yang begitu menggelegar. Pun alunan kegelapan terperanjat dalam ruang kosong.

Tampak ia memikul kelelahan begitu sarat lantaran ribuan zaman tiada batas ditopang tanpa pamrih.

Kini sang malam berduka. Hitam abstrak. Hanya pekat. Tak lagi ia menebar anggun pesona jagat.

Sang Mahagelap beradu dalam cengkrama nasib yang begitu pilu. Gulana resah menggumam tak mengenal henti.

Lalu lalang kunang-kunang melayang menuju nirwana. Mencibir pada Tuhan keribuan kalinya. Sekadar mengucap, “Begitu hening nan sunyi nian malam ini, Duhai Elok.”

Sang Duhai membalas, “Cahaya ‘kan hadir di ufuk walau remang. Ratapi segala keheningan. Menerka-nerka dalam kebimbangan sebab ia pula larut dalam nestapa.”

06.20 senja waktu Jatinangor, Sumedang.
Ahad, 4 Mei 2014.

IMG_5030