Mengasingkan Jiwa-Raga di Karimun Jawa (Bag. 3)

IMG_3817

Pelabuhan Karimun Jawa terlihat dari kejauhan. (foto: dito)

Akhirnya, Karimun Jawa!

Setelah berjuang 12 jam di tanah darat dan 6 jam di lautan air, akhirnya kami sampai pada pulau tujuan kami, Karimun Jawa! Senangnya bukan main. Saking senangnya sampai aku nyaris melupakan nyut-nyutan di pantat, teriknya jahannam, dan motivasi paling keren diri sendiri yang gagal total. Kali pertama melayangkan pandang ke pulau surga itu, aku kembali ngalay (sebutan keren untuk kegiatan ritual alay).

Aku (kebetulan, ya , KEBETULAN) pernah membaca buku Sang Pemimpi karya Andrea Hirata. Di sana ada kisah di mana Ikal dan Arai sama-sama berdiri dengan sigap dan sangat antusias untuk turun dari kapal ketika melihat Pulau Jawa dari kejauhan. Mereka tidak sabar untuk segera menginjakkan kaki di tanah di mana Presiden Indonesia juga sama-sama berpijak itu. Akhirnya mereka pasrah tidak kuat berdiri. Ternyata jaraknya jauh bukan main. Nah, kiranya seperti itulah kami ketika melihat Karjaw (liat foto atas). Awalnya kami senang dan terharu bahagia bagai orang kebelet kawin, tapi itu hanya berselang 15 menit saja. Sisanya memaki-maki kenapa bumi harus bulat.

Pelabuhan Karimun Jawa tampak dekat. (foto: dito)

Pelabuhan Karimun Jawa tampak dekat. (foto: dito)

Ketika Pelabuhan Karjaw sudah di depan mata (liat foto kiri), kami berlima kembali terharu. Kawan-kawanku: Bonay, si manusia sumo; Edo, si manusia macho; juga Audi dan Leony, si manusia homo (homo= sama, maksudku sama-sama wanita); mereka berempat girang bukan kepalang. Ini adalah kali pertamanya mereka menginjakkan kaki di tanah Karimun Jawa, begitu juga denganku tentunya.

Euforia menginjakkan kaki di Karjaw itu rasanya seperti Abang Columbus menemukan Benua Amerika, Mas Graham Bell menciptakan telepon, atau Aa’ Einstein mendalilkan Relativitas. Kami berlima berasa jadi jenius mendadak, entah mengapa.

Papan sambutan bagi para petualang di tanah Karjaw. (foto: dito)

Papan sambutan bagi para petualang di tanah Karjaw. (foto: dito)

Kejeniusan kami diakui dunia! Buktinya ketika sampai, tahu-tahu sudah ada plang yang menyambut kami dengan bertuliskan “Selamat Datang di Karimun Jawa” (liat foto kiri). Dunia telah mengetahui bahwa lima orang jenius akan datang. Hebat sekali menjadi kami, bukan?

Hal yang pertama travel agent lakukan setelah melihat 5 pindang gosong unyu ini adalah menempatkan mereka di sebuah rumah untuk bermalam. Di sana, kami beristirahat sejenak melepas lelah. Makanan yang disediakan oleh sang empu rumah adalah makanan laut, rasanya enak luar biasa! Setelah makan, di antara kami ada yang kemudian mandi, ada yang sembahyang, dan tidak ada yang berani mandi sambil sembahyang.

Setelah agak rileks, kami diajak untuk melihat sunset di Pelabuhan Rakyat Karimun Jawa. Setelah melihat matahari terbenam, kami kembali ke rumah untuk beristirahat malam. Aku masih sempat kepikiran untuk mencoba mandi sambil sembahyang, tapi takut kualat.

Perjalanan menuju Pelabuhan Rakyat Karimun Jawa. (foto: dito)

Perjalanan menuju Pelabuhan Rakyat Karimun Jawa. (foto: dito)

Senja Jingga di Pelabuhan Rakyat Karimun Jawa. (foto: dito)

Senja Jingga di Pelabuhan Rakyat Karjaw. (foto: dito)

to be continued…..

Mengasingkan Jiwa-Raga di Karimun Jawa (Bag. 2)

IMG_3665

Baju yang dikenakan Edo, tema yang diusung kami berlima buat mengasingkan diri di Karimun Jawa. (foto: dito)

Perjuangan KMP Muria menerjang ombak hingga berlabuh di Kepulauan Karimun Jawa memakan waktu sekitar 6 jam. Bukan waktu yang sedikit bagi kami, para ikan pindang gosong, untuk berjuang keras melawan Si Susu Ibu. Sakit sekali rasanya kulit halus kami berlima perlahan disayat-sayat suhu 86 derajat lautan neraka.

Terang sekali Sang Pengalaman yang bijak akhirnya memberi kami pelajaran berharga di tempat ini, “Tak seberapa kerasnya 12 jam membentuk pantat menjadi tempat ulekan sambel dibandingkan 6 jam diselimuti Si Susu Ibu.” Kami berlima manggut-manggut sembari menggonggong kepanasan. “Auf! Auf! Auf Auuufff!!!”

NB: 86 derajat fahrenheit  = 30 derajat celcius

IMG_3635

Di tengah perjalanan, ada bule sedang asyik membaca novel. Beda sekali dengan kultur orang Indo yang malah motret-motret kalo pergi ke mana-mana. (foto: dito)

Beda Turis Lokal dengan Turis Asing

Belum sampai 30 menit setelah keberangkatan kapal menuju Kep. Karimun Jawa, para wisatawan lokal dengan sigap langsung mengeluarkan gadget canggih mereka masing-masing, kemudian mengabadikan momen-momen di atas kapal dengan penuh alay.

Ada yang motret tanah Jawa yang baru dicampakkan sang kapal dengan kamera DSLR maupun kamera handphone, ada yang memotret selfie diri mereka sendiri berlatarkan lautan biru, ada juga yang terlihat depresi mau melempar diri ke lautan, dan itu adalah orang-orang yang mabuk laut.

Di tengah-tengah suasana asyik dan alay para pribumi mengabadikan diri agar dapat pamer kepada manusia-manusia alay lainnya, wisatawan asing terlihat lebih “profesional” dibandingkan kita para manusia asli Indonesia. Meski terdengar stereotype, namun nyatanya ini adalah fakta tak terbantahkan.

IMG_3589

Ilustrasi (bener deng, bukan ilustrasi lagi) makhluk-makhluk alay Indonesia. Kiri: Bonay, kanan: Edo. (foto: dito alay yang moto-moto mulu)

Beberapa dari turis asing itu kemudian mengeluarkan buku untuk dibaca menemani perjalanan panjang mereka. Hal itu membuat iritasi mataku. Geram sekali melihat mereka dapat membaca santai di tengah-tengah ke-alay-an orang Indonesia, termasuk aku juga yang lagi memotret-motret.

Diferensiasi kultur yang sungguh memprihatinkan ini menjadi pengalaman sekaligus pelajaran berharga bagiku. Aku miris. Aku menangis. Saat itu juga ingin rasanya aku berubah. Ingin rasanya aku menjadi orang yang membudayakan baca di mana pun aku berada. Aku telah bertekad kuat. Aku terobsesi. Ya! Aku membusungkan dada menatap masa depan dengan penuh keyakinan mampu berubah. Lima menit setelah mendapatkan motivasi mantap dari diriku sendiri, aku bergegas untuk moto lumba-lumba yang unyu.

IMG_3743

Tampak sirip lumba-lumba dari atas geladak. (foto: dito)

IMG_3691

Sesekali terlihat lumba-lumba melintas dengan cantik mengikuti jalur kapal. (foto: dito)

to be continued…..click here

Mengasingkan Jiwa-Raga di Karimun Jawa (Bag. 1)

IMG_3849

INFO: Untuk memperbesar dan memperjelas, silakan klik gambar. (foto: dito)

LATAR BELAKANG MASALAH

Ketika semester 2 telah sampai pada akhir hayatnya, tiba-tiba ada seorang temanku yang mengajakku pergi untuk mengasingkan diri melepaskan penat di sebuah tempat yang katanya paling indah di alam semesta. Alih-alih mengajakku minum Baygon lalu kemudian masuk ke surga, ia menerangkan padaku bahwa itu adalah rencana jalan-jalan ke Karimun Jawa.

Mulanya aku berpikir itu adalah rencana perjalanan mengelilingi Pulau Jawa dengan mengendarai mobil Karimun, tapi karena takut salah menjawab, aku yang telah berjuang 6 tahun di SD, 3 tahun di SMP, 3 tahun di SMA, dan telah lulus 2 semester di Fikom Unpad ini langsung dengan sigap merespon penawarannya dengan intonasi dan nada yang terlihat cerdas supaya nggak terlihat bego di matanya,

“Karimun Jawa, ya? Hm.. Lumayan juga. Boleh lah. Lagian gue juga belum pernah liat langsung Cendrawasih make mata telanjang.”

“Itu Raja Ampat, bego!”

“……….” (shock)

“Lagian kayak lu punya duit aja, minimal 2 juta woy ke Papuanya!”

“……….” (makin shock)

(INTERMEZZO)
Karena mungkin sebagian dari kalian ada yang bingung kata “temanku” di sini itu berkonotasi manusia atau peralatan mandi, maka sebut saja ia Bonay, teman dekatku asal Padang. Ya, dia manusia. Hanya sayangnya dia berkelamin pria dan berbobot lebih dari 90 kg. Dan satu lagi, Edo, pria macho asal Palembang.
Awalnya ngeri membayangkan jalan-jalan cuma bertiga sama cowok-cowok abnormal, yang satu beban badannya lebih berat dari beban idupnya, yang satunya lagi macho…… (terus kenapa kalo macho!?). Tapi untungnya, perjalanan ini pada akhirnya dibumbui lagi oleh 2 kaum wanita, ia adalah Leoni dan Claudia. *SIGH*
NB: Terimakasih banyak kepada orang tua Leoni dan Claudia yang telah berkontribusi menciptakan mereka.
 
IMG_3576

KMP Muria, salah satu kapal feri yang menjembatani antara Jepara dengan Karimun Jawa. (foto: dito)

HARI PERTAMA

Senin, 9 Juli 2012

Perjalanan 12 jam dari Terminal Bus Cicaheum menuju Pelabuhan Jepara sangatlah menegangkan. Bukan menegangkan adrenalin di setiap kali bus berkelok dahsyat melintasi jalan-jalan perbukitan, bukan juga menegangkan alat reproduksi, melainkan menegangkan urat-urat pantat indah kami berlima. Karena ketika kami turun menjejakkan kaki di tanah Jawa Tengah, kami lalu sibuk mengurut pantat kami yang nyut-nyutan keram kesemutan.

Kala itu waktu menunjukkan sekitar pukul 07.00 WIB. Angin darat pagi itu berhembus tenang. Meski tidak sedingin Bandung, mentari pagi hari di Jepara yang muncul menampakkan keemasannya dengan angkuh itu mampu menciptakan kesejukkan kepada kami. Akhirnya, kami tidak lagi mengurusi pantat porak poranda masing-masing.

IMG_3582

Selayang pandang Pelabuhan Jepara beserta isinya dari geladak KMP Muria. (foto: dito)

Pukul 8 tepat kapal mencampakkan dirinya dari Pelabuhan menuju Karimun Jawa. Kami berlima sepakat memilih untuk bersemayam di geladak atas kapal agar bisa melihat-melihat keindahan Laut Jawa beserta ciptaan Tuhan lainnya tanpa dibatasi dimensi jendela buatan manusia.

Ternyata, keputusan itu adalah keputusan yang sangat konyol. Kami kira awalnya enak-enak saja bisa duduk santai di geladak karena teduh tanpa mempertimbangkan rotasi bumi. Ketika waktu menunjukkan sekitar pukul 10, kami dengan biadabnya dibakar oleh matahari bagai anak yang disusui ibunya. Cuma bedanya, susunya itu berupa panas api.

IMG_3601

Tampak belakang geladak atas kapal. Banyak manusia-manusia polos dibakar begitu saja bagai pindang di atas wajan oleh si matahari psikopat. (foto: dito)

to be continued….. click here