Dialog #5 – Rembulan dan Paradigma

“Tidakkah Kau lihat dengan jelas rembulan itu memiliki bopeng-bopeng yang melekat padanya, namun Kau tetap memandangnya indah?

Nah, seperti itulah analoginya paradigma positif dan negatif. Kalau kau dapat memandang indah Sang Rembulan, namun berupaya menyisihkan bopeng-bopeng itu, maka Kau memiliki paradigma positif.

Kalau Kau malah menyerapahi adanya bopeng-bopeng itu tanpa menghadirkan estetika dalam sudut pandang dirimu, maka Kau memiliki paradigma negatif.”

“Sesimpel itu?” potongku.

“Ya, sesimpel itu,” ujar Bumi dengan senyuman.

Dialog #4 – Celoteh Angin

“Aku ingin Kau membawaku menari berpijak di atas pelangi. Dengan kata lain, maukah Kau berdansa denganku, Duhai Angin?”

“Ogah! siapa elu? Sok kenal. Sok puitis. Cuih.”

“Jangan begitu, Kawan, Kaulah salah satu sebab aku hidup. Jadi setidaknya aku ingin berterimakasih kepadamu dengan sedikit berdansa sampai rembulan berhenti tersenyum manis kepada kita.”

“Oke, tapi dengan satu syarat.”

“Apa itu?”

“Kau harus telanjang.”

Sejak saat itu, aku semakin yakin kalau Angin itu sangatlah mesum. Buktinya nyata. Sering kali ia menerbangkan rok-rok para siswi SMP yang ingin bersekolah, kemudian menikmatinya dengan wajah tanpa dosa.

Dialog #3 – Pesona Semesta dan Manusia

Aku menatap langit dengan penuh takjub. Aurora, bintang, planet, tata surya, galaksi, misteri, gravitasi, seluruh semesta raya. Mereka memiliki seni dan keindahan dalam pola yang terstruktur teramat rapi.

“Aku memesona, bukan?” tanya Semesta pada diriku yang masih tertegun.

“Sangat! Aku iri padamu, Kau memiliki berjuta pesona tiada batas. Kau adalah kiblat dari keanggunan misteri. Kau bak permata yang tiada hilang auranya,” pujiku padanya.

“Aku lebih iri padamu, manusia kecil. Kau mendapatkan kuasa untuk menguasai dunia bahkan menguasaiku hanya dengan ilmu, sedangkan aku dan pesonaku ini hanya diam dan menjadi objek kalian saja. Bukan berarti aku tidak mensyukuri apa yang Tuhan berikan padaku, namun aku hanya ingin berkata bahwa Engkau pun memiliki pesona yang telah Tuhan anugerahkan ke dalam dirimu, duhai manusia kecil,” tuturnya lembut.

Dialog #1 – Rasa Syukur Manusia Itu Kecil

“Pernahkah Kau berkontemplasi akan ucap syukur manusia kepada siapapun itu?” Sang Api Raksasa bertanya kepadaku.

“Tentu! Aku selalu berterimakasih kepada siapapun, termasuk Tuhan, ketika aku mendapatkan sesuatu dari mereka, semisal aku diberi hadiah maka aku berterimakasih kepadanya,” jawabku mantap.

“Kau salah besar. Ucap syukur manusia itu tidak lebih dari sebutir pasir dalam gurun semesta dan juga tidak lebih dari sepercik air dari samudera jagad,” tegasnya padaku. Aku tidak terima! Aku selalu mengucap syukur kepada siapapun yang berbaik hati kepadaku, tanpa pandang bulu siapa dia. Lantas aku bertanya dengan skeptis.

“Apa yang Kau maksud, duhai Matahari?”

“Kau mengenal listrik tentunya, kan?”

“Benar. Lalu?”

“Hampir semua manusia di dunia ketika listrik mati, disengaja maupun tidak sengaja, mereka akan menyerapahi perusahaan pembangkit listrik dengan penuh murka. Seakan-akan perusahaan itu telah melakukan dosa besar. Tapi tidakkah mereka, mungkin juga Kau, sadar bahwa setiap kali listrik menyala, tidak ada satupun yang pernah bersyukur? Kecuali ketika momen listrik menyala pascamati. Lagipula, aku yakin sekali perbandingannya mati listrik dan nyala listrik itu tidak sampai 1:9.”

Aku tertegun. Rasanya benar juga yang Matahari katakan. Tapi, tetap saja aku tidak terima dikata belum bersyukur. Lantas aku bertanya, “Bukankah itu analogi yang kurang relevan?”

“Aku rasa itu bisa dijadikan pertimbangan analogi yang tepat kalau Kau berkontemplasi dengan matang. Satu analogi lagi yang mungkin dapat Kau cerna, pernahkah Kau setiap hari berterimakasih kepada Tuhan akan organ pernafasan Kau yang masih berfungsi sehingga Kau saat ini masih bisa bernafas di setiap detiknya? Pernahkah Kau bersyukur akan kelopak mata yang masih selalu berkedip di setiap detiknya? Pernahkah Kau berterimakasih akan kaki, tangan, mulut, telinga, dan semua organ tubuhmu yang masih dapat bereaksi terhadap dunia di setiap detiknya?”

Aku menyerah. Matahari benar. Aku kurang bersyukur. Sangat kurang bersyukur.